Mungkin terkesan ironis memang
kalau membaca dari judul tulisan kali ini. Tapi, ini bukanlah cerita fiksi
karangan. Ini adalah cerita nyata yang aku temukan di tempat kerjaku di
perkebunan ini. Pertama kali nyampe di perkebunan ini bukanlah perasaan bahagia
yang kumiliki. Tears are streaming down
on my face. Kenapa ? Sinyal yang payah membuat aku nggak bisa apa-apa,
termasuk update blog ini, ditambah lagi akses ke pasar tradisional harus menempuh jarak 7 Km, nggak ada angkot
sama sekali. Kalo mau keluar ya numpang naik truck pengantar buah sawit. Kehidupan
disini sangatlah keras. Bisa kulihat diwajah siswa-siswiku setiap harinya.
Bayangkan saja, banyak sekali
siswa ini yang sudah seharusnya duduk dibangku SMA, bahkan di universitas kalau dilihat dari segi umur. Sedikit
nostalgia, aku berumur 15 tahun masuk SMA, dan berumur 17 tahun masuk kuliah. Namun, melihat mereka. Awalnya, aku
terkejut.tapi kutanya mereka, “ah, ini sudah biasa miss. Kan kerja dulu
baru sekolah”, begitulah jawab mereka sambil tertawa. Awalnya aku
sangat miris dengan jawaban itu. Memang betul, kebanyakan siswa ini selalu
membantu orangtuanya di kebun sepulang sekolah, bahkan tak jarang mereka tidak
sekolah hanya untuk mengejar HK. Terkadang, siswa memiliki absen yang lebih
banyak daripada kehadiran setiap bulannya. Tanpa keterangan. Kalau ditanya
kenapa tidak sekolah mereka hanya menjawab, ngancak miss, bantuin orangtua di
kebun. Makanya, walaupun baru anak SMP, postur tubuh siswa-siswiku sudah seperti
orang dewasa. Kalau sudah begini, nokok kepalanyapun sudah tak wajar. Gile,
badannya lebih besar dari Bapak/Ibu Guru.
Aku memang maklum dengan
kehidupan mereka yang sangat keras. Uang sekolah yang sangat mahal tentu mencekek
leher mereka. Bayangkan saja, kalau 1 keluarga memiliki 3 orang anak untuk
sekolah. Hanya untuk biaya SPP saja sudah mahal, ditambah lagi biaya lainnya.
Aku juga jarang menjumpai mereka jajan. Tak jarang siswa disini harus pindah
sekolah karena orangtuanya sudah tak sanggup lagi bekerja. Dengan kata lain,
kalau tak kerja maka tak makan. Tak kerja maka tak sekolah. Tidak
ada kata malas-malasan bagi masyarakat disini.
Namun, semangat mereka untuk
sekolah sangatlah luar biasa. Walaupun tinggal diperkebunan, namun mereka
siswa-siswi yang memiliki mental baik, berani, jujur, dan ramah. Mereka selalu
semangat untuk menginjakkan kakinya ke sekolah. Itulah yang membuat aku selalu
bersemangat mengajar. Aku tidak mau kalah dong sama anak ABG. Kalau mereka saja
bisa bertahan, kenapa aku nggak ?. I am
stronger now.
Dulu, awal aku bekerja di
perkebunan ini, aku tertawa melihat mereka naik truck ke sekolah. Setiap truck
afdeling mengantarkan siswa ke sekolah. Ini adalah pemandangan sehari-hari. Sebenarnya,
aku bukanlah orang kota, namun melihat pemandangan ini tentulah cukup geli bagiku. Namun, kusimpan dalam hati. Akhirnya,
aku juga harus merasakan naik truck juga, cuman beruntungnya aku nggak di
gerobaknya. Ya, aku sudah biasa naik truck. Kebun antar kebun. Mataku saja
sudah ijo, memandang hamparan kebun sawit yang tidak ada ujungnnya. Jangan
bayangkan jalannya yang beraspal. Syukur kalau tidak hujan, kalo hujan bisa
putus jalannya.
Hidup di perkebunan ini juga
memaksaku untuk beradaptasi. Jumpa ular ditengah jalan juga sudah biasa. Cuman,
aku nggak kuat kalau masalah hewan yang satu ini. Bisa bikin jantungku berhenti
berdetak. Ya, sudah beberapa kali aku melihat ular secara langsung di
perkebunan ini. Ah, sungguh pengalaman yang bisa dibilang menarik. Kehidupan di
perkebunan ini memaksaku menjadi orang kebun juga. Bukankah pahit manisnya
hidup harus dijalani?
Semoga masih bisa bertahan di
areal perkebunan ini ya.
Salam
Sukses
Guru
Indonesia
Tetap
Berkarya
Tetap semangat untuk mencerdaskan anak Indonesia bu guru.
ReplyDeleteTetap semangat untuk mencerdaskan anak Indonesia bu guru.
ReplyDelete