Wednesday, September 7, 2016

Sepasang Kaki yang pincang


Aku pernah merasakan patah hati dan patah hati terhebatku bukan dengan orangtua, pacar atau yang lainnya, tetapi kepada sahbatku sendiri. 

Tak ada  lagi  kata yang tepat jika seorang sahabat yang kamu kenal dengan dekat tega menjadi penghianat dalam hidupku. Ibarat peribahasa serigala berbulu domba, dia menjadi sahabat sehari-hari dalam suka dan duka. Hari-hari di isi dengan persahabatan yang indah hingga aku sadar betul bahwa ada sesuatu yang berubah secara perlahan. Dia tak lagi menjadi sahabat yang kukenal.
Saat aku kuliah, aku memiliki teman satu kamar kos. Kami sangat akrab dan kompak, ibarat dua kaki ayam, kami selalu pergi bersama-sama. Semuanya begitu indah sejak kemarin. Sekarang semuanya berubah secara perlahan. Ada saraf sadar yang segera memeberitahuku bahwa ada yang tidak beres dengan persahabatan kami berdua.
Ketika ingin ke kampus, dia sudah tak lagi mengajakku. Dia pergi sendirian. Aku tidak tahu kenapa, tetapi itu aneh juga tak mengenakkan dihati. Ketika mengetahui informasi tentang bimbingan skripsi, dia akan selalu mendapat informasi dari kawan yang banyak dan tak pernah sekalipun mengajak saya untuk ke kampus padahal dosen pembimbing kami itu sama.
Aku mulai tidak sabar untuk mempertanyakan semua ini. Jujur, aku tidak ingin kehilangan dia sebagai seorang sahabat. Dan jika aku punya kesalahan, bukankah lebih baik dia menegur ku? Tapi kenapa dia diam? Aku serba salah namun perlahan aku sudah mulai tidak sabar lagi. Ketika suatu waktu aku mencakapinya, dia seolah tidak mendengar dan langsung pergi menghindar.
Dulu, kami kompak dan akrab, kami selalu mengerjakan tugas dan diskusi bersama, pergi jalan-jalan bersama. Aku  sering mengisi pulsanya dan dia biasanya ngutang. Aku selalu mengambil pakaiannya dari jemuran kalau mendung datang. Aku sering memberinya makan karna aku masak sendiri. Tetapi, aku memang tak perlu menyebut semua ini. aku tulus melakukan semua itu.
Aku baru saja kembali ke kos diantar oleh pacarku. Kami sedang makan malam di luar. Waktu itu, sudah pukul 9 malam. Aku mengetok pintu kamar kos. Aku tahu dia ada di dalam. Aku sudah memanggil dan mengetok pintu puluhan kamar, tetapi tidak ada sahutan. Aku menelepon dan sms dia tapi tak ada jawaban. Darahku mulai mendidih. Aku sudah tidak sabar lagi. Aku paling tidak suka begini. Aku juga berhak untuk masuk kedalam kos. Tapi dia tidak membuka pintu sama sekali. Jadilah akhirnya, aku tidur di kos sebelah. Aku sangat marah kepadanya.
 Pagi harinya, dia membuka pintu. Aku masuk ke dalam untuk mengambil buku dan bersiap pergi ke kampus. Amarahku teredam karna ku lihat dia batuk, dia sedang sakit. Aku  beri dia secangkir minuman hangat. Dia kemudian menepisnya dari tanganku. Air tersebut jatuh. Aku menatapnya dengan nanar, airmataku mulai penuh dipelupuk mata. Aku membiarkan kasur itu basah. Aku bertanya kenapa dia bersikap dingin kepadaku. Dia hanya menjawab, bahwa dia tak sudi berteman dengan penghianat sepertiku. Dia berpikir aku telah menghianatinya, membawanya ke jurang.
Itu sama sekali bukan jawaban yang masuk akal. Aku mulai tak sabar dan mendesaknya. Dia mulai kasar dan menunjuk tangannya kepadaku. Aku ternyata dituduh merebut gebetannya yang sekarang sudah resmi menjadi pacarku. Aku sama sekali tidak mengerti, selama ini dia tidak pernah cerita apapun kepadaku. Memang dia tipe pendiam dan tertutup dalam masalah percintaan. Aku mulai marah. Saat itu, aku merasa jauh darinya. Aku patah hati dengan sikapnya kepadaku. Aku juga bilang kepadanya bahwa aku tidak butuh dia sembari pergi meninggalkan dia.

Malamnya, aku tidak pulang ke kos karna merasa sangat marah kepadanya. Aku menginap dirumah teman. Aku pulang dua hari kemudian. Kutemukan, sudah tak ada lagi barang-barangnya. Dia sudah pindah. Aku merasa bodoh. Perasaanku campur aduk, mau marah atau sedih. Sekarang aku tahu bahwa aku tidak harus mempertahankannya lagi. Kami berdua ibarat sepasang kaki yang pincang,  jika salah satu kaki pincang tentulah yang satunya akan menunjuk arah jalan yang benar. Tetapi kaki itu benar-benar pincang dan mati sehingga tidak lagi bisa digerakkan. Begitu jugalah persahabatan kami yang memang tak bisa dipertahankan. Aku telah memaafkan dia dan jika suatu hari nanti dia kembali, tentu aku akan tetap menerima dia sebagai sahabatku kembali. Aku akan selalu ada untuk dia. 
*** 
Tulisan ini diikutsertakan dalam  "Romeo Gadungan Giveaway"

No comments:

Post a Comment