Aku pernah merasakan patah hati dan patah hati terhebatku bukan dengan orangtua, pacar atau yang lainnya, tetapi kepada sahbatku sendiri.
Tak ada lagi kata yang tepat jika seorang sahabat yang kamu
kenal dengan dekat tega menjadi penghianat dalam hidupku. Ibarat peribahasa serigala
berbulu domba, dia menjadi sahabat sehari-hari dalam suka dan duka. Hari-hari
di isi dengan persahabatan yang indah hingga aku sadar betul bahwa ada sesuatu
yang berubah secara perlahan. Dia tak lagi menjadi sahabat yang kukenal.
Saat aku kuliah, aku memiliki teman satu kamar kos. Kami sangat
akrab dan kompak, ibarat dua kaki ayam, kami selalu pergi bersama-sama. Semuanya
begitu indah sejak kemarin. Sekarang semuanya berubah secara perlahan. Ada saraf
sadar yang segera memeberitahuku bahwa ada yang tidak beres dengan persahabatan
kami berdua.
Ketika ingin ke kampus, dia sudah tak lagi mengajakku.
Dia pergi sendirian. Aku tidak tahu kenapa, tetapi itu aneh juga tak
mengenakkan dihati. Ketika mengetahui informasi tentang bimbingan skripsi, dia
akan selalu mendapat informasi dari kawan yang banyak dan tak pernah sekalipun
mengajak saya untuk ke kampus padahal dosen pembimbing kami itu sama.
Aku mulai tidak sabar untuk mempertanyakan semua ini. Jujur,
aku tidak ingin kehilangan dia sebagai seorang sahabat. Dan jika aku punya
kesalahan, bukankah lebih baik dia menegur ku? Tapi kenapa dia diam? Aku serba
salah namun perlahan aku sudah mulai tidak sabar lagi. Ketika suatu waktu aku
mencakapinya, dia seolah tidak mendengar dan langsung pergi menghindar.
Dulu, kami kompak dan akrab, kami selalu mengerjakan tugas
dan diskusi bersama, pergi jalan-jalan bersama. Aku sering mengisi pulsanya dan dia biasanya
ngutang. Aku selalu mengambil pakaiannya dari jemuran kalau mendung datang. Aku
sering memberinya makan karna aku masak sendiri. Tetapi, aku memang tak perlu
menyebut semua ini. aku tulus melakukan semua itu.
Aku baru saja kembali ke kos diantar oleh pacarku. Kami
sedang makan malam di luar. Waktu itu, sudah pukul 9 malam. Aku mengetok pintu
kamar kos. Aku tahu dia ada di dalam. Aku sudah memanggil dan mengetok pintu
puluhan kamar, tetapi tidak ada sahutan. Aku menelepon dan sms dia tapi tak ada
jawaban. Darahku mulai mendidih. Aku sudah tidak sabar lagi. Aku paling tidak
suka begini. Aku juga berhak untuk masuk kedalam kos. Tapi dia tidak membuka
pintu sama sekali. Jadilah akhirnya, aku tidur di kos sebelah. Aku sangat marah
kepadanya.
Pagi harinya, dia
membuka pintu. Aku masuk ke dalam untuk mengambil buku dan bersiap pergi ke
kampus. Amarahku teredam karna ku lihat dia batuk, dia sedang sakit. Aku beri dia secangkir minuman hangat. Dia
kemudian menepisnya dari tanganku. Air tersebut jatuh. Aku menatapnya dengan
nanar, airmataku mulai penuh dipelupuk mata. Aku membiarkan kasur itu basah.
Aku bertanya kenapa dia bersikap dingin kepadaku. Dia hanya menjawab, bahwa dia
tak sudi berteman dengan penghianat sepertiku. Dia berpikir aku telah menghianatinya,
membawanya ke jurang.
Itu sama sekali bukan jawaban yang masuk akal. Aku mulai
tak sabar dan mendesaknya. Dia mulai kasar dan menunjuk tangannya kepadaku. Aku
ternyata dituduh merebut gebetannya yang sekarang sudah resmi menjadi pacarku.
Aku sama sekali tidak mengerti, selama ini dia tidak pernah cerita apapun
kepadaku. Memang dia tipe pendiam dan tertutup dalam masalah percintaan. Aku
mulai marah. Saat itu, aku merasa jauh darinya. Aku patah hati dengan sikapnya
kepadaku. Aku juga bilang kepadanya bahwa aku tidak butuh dia sembari pergi
meninggalkan dia.
Malamnya, aku tidak pulang ke kos karna merasa sangat
marah kepadanya. Aku menginap dirumah teman. Aku pulang dua hari kemudian.
Kutemukan, sudah tak ada lagi barang-barangnya. Dia sudah pindah. Aku merasa
bodoh. Perasaanku campur aduk, mau marah atau sedih. Sekarang aku tahu bahwa
aku tidak harus mempertahankannya lagi. Kami berdua ibarat sepasang kaki yang
pincang, jika salah satu kaki pincang
tentulah yang satunya akan menunjuk arah jalan yang benar. Tetapi kaki itu
benar-benar pincang dan mati sehingga tidak lagi bisa digerakkan. Begitu
jugalah persahabatan kami yang memang tak bisa dipertahankan. Aku telah
memaafkan dia dan jika suatu hari nanti dia kembali, tentu aku akan tetap
menerima dia sebagai sahabatku kembali. Aku akan selalu ada untuk dia.
***
Tulisan ini diikutsertakan dalam "Romeo Gadungan Giveaway"
No comments:
Post a Comment