Friday, July 1, 2016

Menilai Sang Guru

 
reportasependidikan.wordpress.com

Sangat miris melihat gambar Bapak guru ini. Coba lihat raut wajah itu, terisak sedih. Pak Mashudi terlihat menangis setelah pengadilan memutuskan untuk menunda sidangnya. Sidang karna mencubit siswa yang tidak mau sholat. Dimanakah hati nurani ? Dimana rasa hormat terhadap guru? Dimana Keadilan? Sungguh hebatnya negeri tercinta ini.  Sungguh ironis memang beda zaman beda pula cara mendidik, tetapi zaman sekarang ini telah berbeda. Lunturnya disiplin dan rasa hormat terhadap guru. Perkembangan zaman yang semakin menggila, lalu bila kasus  ini masih berlanjut apakah kita harus diam? Diam menyaksikan kawan se profesi yang diperlakukan tidak adil. Tentu saja hal ini mencoreng sang Guru.
Kisah-kisah guru yang disegani dan dihormati layaknya sudah mulai hilang dari diri masing-masing, baik siswa dan orangtua. Siswa sebagai anak didik dan orangtua sebagai patner dalam mendidik anak mereka. Banyak kisah miris seperti ini. Saya pernah membaca kisah guru honorer yang rambutnya digunting oleh orangtua siswa karna menggunting rambut anaknya yang panjang, ada lagi guru yang dipenjara, dan lagi-lagi kasus seperti bapak ini muncul hanya karna mencubit siswa yang tidak sholat. Orangtua yang tidak terima anaknya diperlakukan demikian menuntut sang guru ke pengadilan, jadi apa tugas seorang guru?
Guru disebut pahlawan tanpa tanda jasa. Memang, guru itu baikan pahlawan yang datang membawa pelita supaya semua manusia bebas dari kebodohan, bukan hanya kebodohan semata tetapi tugas guru memang sangat rumit. Tugas guru adalah “Memanusiakan Manusia”. Manusia yang diantar oleh orangtuanya dari rumah setiap hari supaya manusia tersebut belajar. Belajar yaitu aktivitas yang menghasilkan perubahan  pengetahuan, perilaku pribadi yang bersifat permanen. Supaya setiap siswa diasah memiliki ilmu, etika, moral, karakter yang baik, sehingga nampak sekali orang yang bersekolah dan orang yang tidak bersekolah. Orangtua seakan-akan membebankan semua tugas tadi  kepada guru, padahal peranan  orangtualah yang paling besar dalam mendidik anak-anaknya.
Sekolah sebagai lembaga  formal yang hanya mendidik siswa-siswi tidak lebih dari  8 jam disekolah, selebihnya tugas orangtua yang harus bekerja keras untuk mendidik sang anak. Jika orangtua saja tidak mampu mendidik mendidik anak dirumah bagaimana dengan guru? Kita bisa lihat perbandingan kontras antara siswa dulu dan sekarang, guru dulu dan guru sekarang dan hasil didikan dulu dan sekarang. Coba renungkan, kontrast buka? Berbagai keterbatasan, hukuman,   zaman dulu membuat siswa termotivasi untuk belajar keras dan coba lihat sekarang, berbagai kemudahan dari teknologi menghampiri kita sekaligus membawa kehancuran bagi siapa saja yang menyalahgunakan.
Guru berhak memberikan punishment kepada siswanya bila ada pelanggaran supaya ada efek jera dan siswa tidak mengulangi kesalahannya. Funishment berarti hukuman ringan yang tidak menyebabkan gangguan fisik dan psikologi  terhadap anak didik. Hukuman ini seperti berdiri di depan kelas, membersihkan toilet,dll. Menghukum bukan berarti kita sangat membenci siswa tersebut tetapi justru guru sangat menyayanginya. Bisa anda bayangkan jika tidak ada hukuman dikelas? Dijamin akan membawa siswa kedalam jurang kehancuran, pasti tak akan ada yang mengerjakan PR.  Kemudian, guru juga berhak memberikan appresiasi kepada murid yang memang berhak menerima karna aktif dalam artian positif misalnya, mampu memecahkan masalah atau memberikan ide misalnya memberikan pujian atau tepuk tangan akan meningkatkan kepercayaan diri siswa.

Masalah yang dihadapi bapak ini adalah masalah yang sebenarnya sepele, tetapi orangtua siswa terlalu membesar-besarkan persoalan. Ingat, keberhasilan manusia tidak lepas dari peran GURU. Untuk Bapak Mashudi, semoga masalah ini cepat selesai, semoga bapak kuat menghadapinya. Ingat ada banyak yang mendukung bapak.Semoga tidak ada lagi kasus seperti ini lagi. Cukup ini yang terakhir!!

No comments:

Post a Comment